Pages

Jumat, 03 April 2020

Jatuh Cinta Lagi..


Hi April, Bulan kelahiranku..
aku udah lama banget  ngga nulis blog. Dulu tulisanku kebanyakan tulisan dan puisi galau sih.. wkwkwk. Tapi kali ini beda, aku mau cerita sedikit  kehidupanku dan kisah cinta yang sedang aku jalani sekarang. saat ini aku berusia 24 tahun, punya pacar dan baru saja bekerja di salah satu bank di Jakarta sebagai Japanese Front desk. Karena sekarang sedang wabah korona, jadi untuk sementara waktu aku kerja di rumah atau Work from Home. Buat kaum rebahan seperti aku, kondisi ini sangat menguntungkan buat aku.. soalnya bias tiduran di kasur seharian full! Tapi lama-lama bosen juga hehe.
Oiya, aku juga mau cerita tentang pacarku juga kali ini. Mmm.. dia satu setengah tahun lebih muda dari aku. Nemunya waktu masih skripsian di Jogja. Kami ketemu secara kebetulan. Waktu itu aku pengen banget tuh nontoh film Stampede One Piece, jadi aku ajak satu temen cewek dan satu temen cowok buat nonton bareng. Terus.. temenku yang cewek ajak temennya, 1 cewek ‘orang Jepang’ dan temenku yang cowok juga ajak temennya, 1 cowok ‘orang Jepang’. Terus sebelum film mulai, kami follow-followan IG dan ngobrol-ngobrol basa-basi sedikit lah pakai Bahasa Jepang. Eh, ternyata yang cowok ‘orang Jepang’ itu jurusannya Bahasa Indonesia. Terus akhirnya filmnya mulai, aku semangat banget kan. Sepanjang film aku terkagum-kagum sama semua karakter one piece terutama Zoro. Fyi, aku penggemar berat Roronoa Zoro. Setelah film selesai, kami jalan-jalan sebentar di Mall, terus balik deh ke kost masing-masing. Itulah pertemuanku pertama kali dengan pacarku sekarang.
Namanya Riku. Sebenernya aku sangat susah mengingat nama orang, tapi waktu itu aku bisa ingat namanya dengan mudah karena ada karakter one piece yang namanya Riku juga. Yap.. kakeknya Rebecca, Raja Dressrosa, hehe. Setelah itu, aku nggak pernah ketemu lagi sampai pada akhirnya aku hubungin dia via IG karena aku butuh teman orang Jepang buat ngecekin Intisari Tugas Akhirku. Akhirnya aku dm dia lewat IG untuk minta bantuannya dan dia setuju lalu ngajak ketemuan. Kirain aku bisa cek via email gitu kan, ternyata dia ngajak ketemuan langsung.. tapi ya udah lah. Terus aku ketemuan sama dia sambil makan malam. Setelah selesai makan, dia ngecekin hasil terjemahan intisari TA ku dan ngobrol banyak hal. Sejak malem itu dia mulai sering ngajak aku makan malem. Aku sih oke oke aja karena udah nggak punya temen lagi di Jogja karena udah pada lulus semua. Kami mulai dekat, daaaann 3 bulan berlalu sejak pertama kali kami ketemu pada akhirnya dia nembak aku setelah makan malam terakhir dia di Jogja. Bahasanya lucu banget lagi.. kaya bahasa Jepang yang di Indonesiakan. Besoknya aku mutusin buat terima dia dan kami mulai pacaran. Ummm LDRan sih.., karena dia langsung pulang ke Jepang di sore harinya.
Sampai saat ini hubungan kami aman dan tentram. Dia mulai belajar banyak hal salah satunya Islam. Karena di awal aku bilang ke dia kalau aku menerima dia untuk jadi pacar dengan syarat harus belajar Islam dan masuk islam. Sekarang kami sama-sama sedang berproses, semoga hubungan kami tetap langgeng sampai menikah. Amiiin


Rabu, 08 Februari 2017

Review Swiss-Belhotel Yogyakarta

Posted by Fatkhan_wicaksono
Yogyakarta kini telah menambah koleksi hotelnya yaitu Swiss-Belhotel yang terletak di Jl.  Jend.  Sudirman no.  69 Terbang Gondokusuman. Hotel Bintang 4 ini dibangun dengan merobohkan bangunan tua yang sudah tidak terpakai. Hotel yang memakan waktu pembangunan hampir setahun lebih ini akhirnya diresmikan pada 9 Desember 2016 lalu. Acara peresmian ini ditandai dengan pengguntingan pita yang dilakukan oleh Dedik Abdillah selaku General Manager Swiss-Belhotel Yogyakarta, Matthew Faull selaku Executive Director Swiss-Belhotel International, Mr.  Emmanuel Guillaard selaku Senior Vice President of Operations & Development Swiss- Belhotel International, Perwakilan PT.  Matratama Graha Mulia Bapak Tjhin Cong Giong dan Bapak Tjhin Cong Jen dan kepala Dinas Pariwisata  dan Kebudayaan Provinsi  DIY. 

Swiss-Belhotel berjumlah 121 kamar dengan 88 kamar tipe deluxe,  26 kamar tipe grand deuxe,  6 kamar tipe bussines suite dan 1 kamar tipe executive suite. Hotel ini bergaya klasik kolonial lengkap dengan pusat kebugaran, spa,  kolam renang,  air terjun buatan dan 8 ruang pertemuan.  Selain itu hotel ini terbilang cukup dekat dengan pusat perbelanjaa, stasiun,  bandara,  dan bank-bank yang tersebar di sekitar hotel. Biasanya tamu hanya perlu berkendara selama 15 menit ke malioboro, 5 menit ke kampus Universitas Gadjah Mada, 20 menit ke bandara dan cukup berjalan kaki jika ingin ke toko buku Gramedia.

Peresmian hotel ini sejak Desember lalu mendapatkan respon yang cukup baik dari berbagai instansi. Selain itu pedagang kaki lima yang dulunya kerap berjualan di trotoar kini sudah tidak lagi berjualan sehingga memudahkan pejalan kaki untuk sekedar menikmati rindangnya pepohonan yang tumbuh di sepanjang jalan. Namun,  menurut saya ada sedikit hal yang menyusahkan bagi para tamu yang ingin mengeluarkan kendaraannya ke jalan  karena posisi hotel yang dekat dengan lampu merah sehingga seringkali berebut jalan dengan antrian kendaraan terlebih pada jam jam sibuk.


Sumber : Swiss-Belhotel.com
                 m.harianjogja.com
                 Www.skyscrapercity.com
                 Yogyakatahotels.net

Minggu, 18 September 2016

ハフィズへ

Apakah kau baik-baik saja melihatku seperti ini?
Aku berjuang sangat keras untuk melupakanmu
Banyak hal yang telah kulalui selama menyukaimu
Tersakiti lalu berharap lalu tersakiti lagi dan berharap lagi
Tidakkah kau lihat perjuanganku untuk berada di dekatmu? 

Andaikan kuceritakan lebih banyak tentang kesakitanku,  apakah kau akan merasa iba mendengarnya? 
Aku tau mungkin aku salah satu gadis bodoh yang pernah kau temui,  aku bahkan tak bisa membedakan antara benci dan Cinta,  tapi tidakkah kau melihat,  aku berusaha untuk menjadi pintar agar bisa serasi denganmu? 

Masuk di universitas yang sama adalah impianku agar bisa melihatmu lagi,  aku merasa tuhan sangat bermurah hati padaku.  Lalu kita berbincang seperti tak ada masalah diantara kita dulu,  tidakkah kau merasa aku sedang berusaha membuka cerita baru antara kamu dan aku? 

Aku sangat bahagia karena bisa kembali dekat denganmu,  satu harapan mulai muncul lagi, lalu kau meninggalkanku lagi,  tidakkah kau begitu jahat padaku? 
Namun,  berulang kalipun kau melakukan hal yang sama,  mengapa aku masih tidak bisa membencimu? 

Saat kau berfikir semuanya mungkin akan baik-baik saja jika kamu menjauh dariku, diwaktu yang bersamaan tidakkah kau mengkhawatirkanku? 
Sudah benarkah yang kulakukan ini? 
Aku ingin berjuang lebih agar kamu mau kembali melihatku.  Bukan karena mengasihaniku,  tetapi tulus mencintaiku,  tidak bisakah kau memberikan ruang untukku? 

Mengapa Cinta pertama begitu sulit bagiku
Apakah kamu benar-benar tidak menyukaiku? 
Sangat sulit bagiku untuk menyukai orang lain karena perasaanku ini,  tidak bisakah kamu membuatnya menjadi jelas? 

Jika suatu saat akhirnya aku bisa menyukai orang lain,  apakah kau akan menyesal?  Atau bahagia? 
Aku sangat menyukaimu,  jadi tidak bisakah kamu berhenti untuk orang lain dan memilihku saja? 
Jika kamu adalah cita-cita orang lain tidak bisakah aku mencita-citakanmu juga? 
Jika jodoh adalah takdir,  tidak bisakah kamu meminta pada tuhan untuk menjadikan aku sebagai jodohmu? 
Tidak bisakah kita bersama?  
Aahh..  Aku terlalu banyak meminta,  namun tak bisakah kamu memikirkannya? 

Rabu, 10 Juni 2015

Nama-nama Tanaman Hias beserta nama latinnya

1. Bunga Alamanda

Allamanda cathartica adalah tanaman hias yang umum disebut sebagai terompet emas, bunga lonceng kuning, atau bunga buttercup. Bunga alamanda berasal dari daerah Amerika Tengah dan Selatan dan banyak ditemukan di Brazil di mana bunga ini umum digunakan sebagai hiasan karena bentuknya yang indah.




2. Bunga Adenium

Adenium obasum atau Kamboja Jepang  Adenium berasal dari Asia Barat dan Afrika berasal dari daerah gurun pasir yang kering, dari daratan asia barat sampai afrika.

Sebutannya disana adalah Mawar Padang Pasir (desert rose). Karena berasal dari daerah kering, tanaman ini tumbuh lebih baik pada kondisi media yang kering dibanding terlalu basah. Disebut sebagai adenium, tanaman ini dinamakan adenium karena salah satu tempat asal adenium adalah daerah Aden (Ibukota Yaman).

3. Bunga Asoka

Pohonnya akan mengeluarkan harum pada malam hari di bulan April dan Mei setiap tahunnya.
Pohon tanaman ini sering diasosiasikan dengan cinta dan kesucian. Di Indonesia, dikenal dua jenis bunga asoka, yakni pohon asoka yang tumbuh menjulang tinggi tanpa ranting atau disebut juga glodokan tiang (Polyalthia Longifolia) dan asoka biasa (Polyalthia sp.) yang memiliki ranting dan berdaun runcing. Orang-orang Eropa sering menyebut tanaman ini Flame of the Wood atau api dari hutan karena warna bunganya yang cerah serta mencolok layaknya api.

3. Bunga Anyelir

Anyelir, atau disebut juga bunga teluki dan dikenal dalam bahasa Inggris sebagai carnation, mempunyai nama ilmiah Dianthus caryophyllus adalah tanaman hias pekarangan dan pot yang populer. Tanaman ini berasal dari kawasan Mediterania. Bunga anyelir memiliki warna yang terang dan berwarna-warni, sehingga sering digunakan sebagai hiasan. Ada dua jenis tanaman anyelir yaitu jenis satu bunga bagi setiap tangkai dan jenis `spray', banyak bunga bagi setiap tangkai.

4. Bunga Bougenvile

Bugenvil; nama ilmiah: Bougainvillea, terutama Bougaivillea glabra merupakan tanaman hias populer. Tanaman yang mempunyai bagian tanaman yang berwarna-warni ini berasal dari Amerika Selatan.Bougainvillea disebut tanaman bunga kertas karena bentuk seludang bunganya yang tipis dan mempunyai ciri – ciri seperti kertas.



5. Bunga Lily (Bakung)
Lily: Lilium regale Kawasan tumbuh bakung meliputi sebagian besar Eropa, sebagian besar Asia sampai Jepang, ke selatan yaitu India, ke Indocina dan ke Filipina. Tanaman ini bisa menyesuaikan diri dengan habitat hutan, seringkali pegunungan, dan kadang-kadang habitat rerumputan. Beberapa mampu hidup di rawa. Pada umumnya tanaman ini lebih cocok tinggal di habitat dengan tanah yang mengandung kadar asam seimbang.

Rabu, 03 Juni 2015

Cerpen Helvy Tiana Rosa - Idis


Idis

Begitu senja. Jalan setapak di batas Batu Licin yang sejak tadi kususuri semakin gelap. Pepohonan dan daun-daun melambai berharap mentari sudi mengintip sebentar saja lagi, mengiringi langkahku yang entah ke mana ini.
Kupercepat langkah. Setengah berlari kubawa gejolak tak menentu, buncahan duka, airmata yang membuat sungai kepedihan semakin panjang dalam diri. Perang! Perang! Perang yang membara sejak aku belum dilahirkan, hingga kematian kedua orangtua dan sanak saudaraku. Perang yang tiada berujung!
Ya, Belanda memporak-porandakan semua. Abak-ku hanya tukang perahu yang tewas kehabisan darah, saat Van Hengst dengan penuh dendam memotong-motong lalu mengirimkan kaki, tangan dan kedua mata Abak yang dicungkilnya keji kepada Pangeran Hidayat untuk menakut-nakuti pemimpin teguh itu agar tak lagi mengajak rakyat Banjar berjuang.
Umak, wanita yang melahirkanku pun cuma wanita biasa yang kutemukan tewas setelah dianiaya dan diperkosa belasan penjajah Belanda di beranda rumah kami bertahun lalu. Sementara abangku Kusin dan Ali tewas saat bersama Kyai Langlang menyerbu benteng Belanda di Tabanio.
Dan dalam usia tujuh belas tahun ini aku sendiri. Berjuang untuk tetap hidup dalam atmosfir nestapa kebiadaban penjajah Belanda.
“He…he…he…he….”
Gema tawa liar yang tiba-tiba terdengar sungguh menyentakkan lamunan dan mengejutkanku! Lalu entah darimana datangnya, kini tiga sosok lelaki menghadang jalan. Dua di antara mereka menyandang tombak!
“Gadis muda…, he…he…he…, mau kemana?” tanya mereka hampir serentak. Lantas dengan begitu saja yang berkumis tebal menjawil pipiku.
Aku menunduk gemetar. Ya Allah, tolong aku. Tiga orang ini sangat menakutkan. Yang seorang gondrong, seorang kumisan, sedang yang lain bercodet di wajahnya. Meski bukan Belanda…,tapi perasaanku mengatakan mereka jahat. Bukan orang baik-baik apalagi pejuang!
“Kami anak buah Wan Syarif Hamid. Mari ikut kami. Kumpini tak­kan mengganggumu…he…he….”
Aku mencibir. “Syarif Hamid… si tolol. Dan kalian anak buahnya yang… dungu. Kalian muslim… atau Belanda?” gumamku pelan.
“Diam ikam !” teriak yang berkumis tebal. “Ayo kita bopong dia!!”
Aku meronta-ronta. Selendang penutup rambutku jatuh ke tanah! Sambil terkekeh-kekeh mereka berusaha membawaku secara paksa!
Aku menjerit-jerit. Mencoba mencakar, menjambak, meludahi mereka! Ya Allah…, aku bingung dan begitu lemah. Tak mampu mematahkan mereka. Andai aku bisa bela diri…, wah, mana mungkin?
“Turunkan dia!”
Sebuah suara berat menghentikan aktivitas para jahanam itu. Aku terpana. Seorang lelaki kurus tinggi yang sangat bernyali mencoba merintangi! Sungguh berani. Kutahan napasku. Mungkinkah dia bisa melawan para biadab ini?
“Siapa, Kau?” gusar Si Gondrong yang membopongku. Seketika dibuangnya aku ke tanah. Duh, serasa tulang-tulangku mau patah. Sakit sekali.
“Saudaraku, lepaskan perempuan yang tak berdaya itu. Biarkan dia pergi.”
“Tak ada urusan. Menyingkir atau kutusuk ikam dengan tombak ini!” seru yang berkumis tebal.
Aku memandang ngeri sambil perlahan memungut selendangku. Pemuda kurus tinggi itu sendirian dan bergeming di tempatnya. Sambil membetulkan ikat kepalanya dia melambaikan tangannya padaku.
“Sini, Ai!”
Aku baru saja akan berlari, saat dua di antara anak buah Syarif Hamid mencengkeram tanganku kuat.
Aku meronta-ronta. Kuberanikan diri menggigit tangan mereka sampai berdarah. Mereka melolong kesakitan! Hup, Aku bebas! Dengan lutut yang masih agak gemetar aku berlari ke arah pemuda tersebut.
“Serbuuuuuuuu!” teriak si Kumis. Serempak mereka menyerang pemuda yang bermaksud menolongku itu.
Pemuda kurus tinggi tersebut gigih melawan. Ia pintar beladiri! Kulihat gerakannya sangat lincah. Bahkan ia belum juga mengeluarkan keris di pinggangnya menghadapi orang-orang jahat bertombak itu!
Apa yang harus kulakukan sekarang? Menunggunya? Kalau dia kalah dan mati? Hiiiiiii….
“Semoga Kakak menaaaaang!” teriakku pada pemuda yang berani itu. Dan…wussssssss, aku berlari secepatnya meninggalkan tempat tersebut.
***
Pindah dari satu daerah ke daerah lain, mengembara tak tentu arah, sebenarnya bukan hal yang biasa dilakukan oleh gadis bingung dan penakut seperti aku ini. Tapi kupikir, harus bagaimana lagi? Aku bisa mendelik atau pingsan ketakutan bila berada di daerah yang ditimpa kerusuhan dan peperangan. Ya, karena aku penakut. Karena tak berani menghadapi kenyataan peperangan inilah maka aku selalu berlari.
Aku ingin dapat istirah sesaat dengan tenang walau harus tidur di tanah, emper rumah orang, dalam bilik pengap, di mana saja. Tidur nyenyak di waktu malam berteman suara jangkrik. Bukan suara bedil, mesiu, atau jerit pilu yang berkepanjangan. Bukan ditemani mimpi-mimpi meresahkan… Bayangan wajah Abak, Umak, kumpini dan simbahan darah…. Sungguh, itu sangat mengerikan.
Seperti kini, 27 September 1859, aku tiba di kaki Gunung Lawak. Menurut kabar daerah ini sudah dikuasai oleh para pejuang kemerdekaan.
“Pangeran Amirullah, Demang Lehman, Antaludin dan Haji Buyasin ada di sini. Rakyat merasa lebih tenang. Wilayah juga lebih aman…,” ujar seorang bapak tua penjual sayur yang kutemui di jalan.
Kutarik napas panjang. Aku salut atas keberanian para pejuang itu. Apalagi pada Pangeran Hidayat, Haji Buyasin dan…Demang Lehman! Tapi…terus terang, aku lebih suka jadi pelarian daripada ikut membantu perjuangan.
“Bergabung saja dengan laskar wanita pimpinan istri Haji Buyasin. Nanti kau diajar mengobati orang luka, memasak, juga bersilat, Ading Gahara…,” kata Kak Kusin suatu ketika.
“Kenapa sih Ading penakut sekali…!” bentak Kak Ali.
Ading kada‘ mau mati muda….” jawabku pelan.
“Huuuuuuuuuu! Mati bisa di mana saja, Ading. Di tempat tidur pun bisa!” ledek Kak Ali sambil mengusap kepalaku.
Kutahan titik-titik air mata. Aku rindu mereka…, sungguh rindu!
“Kita harus melawan penjajah, ini tanah hak kita! Kita harus merdeka! Jihad fisabilillah terhadap Belanda…kaum kuffar itu!” suara Kak Kusin lagi.
Aku menghapus airmata dan membetulkan letak selendangku. Sebelum hari beranjak siang, aku harus mendapat pekerjaan. Mencuci baju, piring, membantu di warung…, apa saja…, agar aku mendapat uang dan bisa numpang bermalam.
Belum jauh berjalan, di sekitar kaki Gunung Lawak, kutemukan sebuah warung kecil yang sepi tanpa pengunjung.
“Aku tak memerlukan pembantu, tapi kau boleh tinggal di sini,” ujar seorang janda tua pemilik warung tersebut prihatin. “Lagi pula kita senasib. Aku pun sebatangkara. Panggil saja aku Acil Dem…,” sambungnya lagi.
Alhamdulillah, aku sangat bersyukur!
***
 Beberapa hari kemudian, suara mortir dan senapan tak berhenti menyalak di sekitar kami….
“Perang! Belanda sampai…, ayo ngungsi!”
“Van De Koch… dan anak buahnya… menyerbu benteng Gunung Lawak…!”
“Demang Lehman terdesak!”
Itulah seruan-seruan beberapa orang di jalanan dengan wajah penuh kecemasan.
Kaum wanita dan anak-anak pun panik! Para lelaki mengangkat tombak, keris serta bedil.
“Mari bantu pasukan Demang Lehman!”
Aku dan Acil pias!
Acil, ayo kita lari!”
“Kau saja yang pergi, Gahara. Biar Acil mati di tanah sendiri!”
“Jangan, Acil!” aku kebingungan. Suara bedil, mesiu dan kendaraan perang yang terasa menderu-deru di telingaku semakin dekat saja! Semakin membuatku gugup. Kutarik paksa Acil Dem meninggalkan rumah. Aku takut sekali dan ingin lari selekas mungkin. Tapi…, nuraniku berkata untuk melindungi Acil Dem! Acil malah meronta-ronta….
Tiba-tiba kulihat darah muncrat dari punggung perempuan tua itu. Mataku terbelalak. Kepalaku berkunang-kunang. Aku lemas seketika! Belanda-belanda itu telah menguasai daerah dan berada tak jauh di belakang kami!
“Lari…, Ga…ha…ra…,” suara Acil satu-satu.
Sosok Umak yang bersimbah darah tiba-tiba muncul di hadapanku. Matilah aku kini! Wahai…, gadis muda mati di bantai kumpini!
***
Cahaya menyilaukan membuat kedua mataku mengerjap picing. Di manakah aku kini? Surga? Tapi…apakah seorang penakut dapat begitu mudah masuk surga?
“Kau sudah sadar….”
Kukerjapkan lagi mata ini. Pandanganku masih terasa kabur. Allah, aku masih hidup! tapi…,bagaimana mungkin? Dan…Acil Dem?
Seorang lelaki gemuk berdiri tak jauh di hadapanku. Di dekatnya seorang lelaki kurus tinggi berpakaian lusuh, lengkap dengan ikat kepala membelakangiku. Sekitarku penuh pepohonan…, daun-daun kering berserakan, suara-suara binatang di kejauhan…. Hutan! aku ada di hutan!
“Kau tak luka, hanya pingsan. Bergegaslah! Kita akan berjalan ke pemukiman penduduk beberapa kilometer dari sini.”
Aku tertegun saat sekilas menatap pemuda itu. Aku pernah bertemu dengannya tapi…tapi di mana? Oh tentu saja, pemuda kurus dengan ikat kepala itu yang menolongku saat di Batu Licin dulu! Hebat, dia selamat! Dan…kini dia pula yang menolongku.
Tak lama kami telah berjalan menyusuri hutan. Sesekali kutangkap pembicaraan dua pemuda sederhana ini. Tampaknya mereka sisa-sisa pejuang dari benteng pertahanan Gunung Lawak. Entahlah, mungkin anak buah Demang Lehman?
Mereka tak lagi mengajakku bercakap-cakap. Hingga di ujung hutan, tak jauh dari pemukiman penduduk, lelaki dengan ikat kepala itu berkata, “Kita berpisah di sini. Kau hanya harus lurus berjalan. Ceritakan tentang pertempuran di Gunung Lawak. Penduduk akan simpati dan menolongmu.”
“Apa? Begitu saja, Ai?” tanyaku heran sambil membetulkan selendang lusuhku yang compang-camping. “Bagaimana kalau ada Belanda yang menghadang tiba-tiba?”
Insyaallah aman. Dan bila orang-orang kafir itu datang berjihadlah. Tuangkan darahmu untuk menegakkan agama Allah….”
Aku bergidik. “Aku ikut saja.”
“Tidak bisa! Kami akan bergerilya dan mengatur siasat baru,” ujar pemuda itu lugas.
“Tega!” rutukku. “Baik. Terimakasih sudah menolong,” kataku pada akhirnya. “Sebelum berpisah, siapakah Kakak berdua ini kiranya?”
“Aku Idis. Dan ini temanku Abdullah,” ujar si ikat kepala lagi.
Assalaamualaikuum!”
Lalu tanpa bisa kucegah, mereka berlari dan menghilang ke dalam hutan!
***
Beberapa waktu kemudian, di tengah pengembaraanku, kudengar Demang Lehman dan pasukannya berhasil mengusir Belanda dari Gunung Lawak. Kata beberapa orang, Belanda tak tahan digerogoti dan diteror terus secara gerilya oleh para pejuang tersebut.
Menurut banyak orang lagi, Di Munggu Tajur, Demang Lehman berhasil merampas senjata, berpuluh pucuk bedil serta mesiu Belanda. Kemudian orang gagah itu meneruskan pertempuran ke Taal dan membuat Belanda kocar-kacir. Ke Amawang, Alai, Kusan, Amandit, Banua Lima-Tabalong….
“Dia orang hebat, Gahara. Aku pernah bertemu sekali dengannya. Dia sangat pemberani!” seruan Kak Kusin terngiang kembali di telingaku.
“Dia juga sangat rendah hati!” sambung Kak Ali. “Pangeran Hidayat percaya pada beliau makanya Demang Lehman diangkat menjadi Lalawangan di Riam Kanan walau Sultan Tamjidullah yang berpihak pada kumpini itu benci! Pangeran Hidayat memberinya tombak Kalibelah dan keris Singkir.”
Demang Lehman, aku menggumam. Pembicaraan yang tiada putus-putusnya. Dan saat aku sampai di Barabai, orang-orang masih juga menyebut namanya!
“Kebakaran! Kebakaraaaaan!”
“Allah, ada apa?”
“Kebakaran! Barabai hangus! Api dari rumah Demang Lehman! De Koch membakarnya!” seru seseorang.
Aku terhenyak. Tapi…tidak, tak ada Belanda. Yang ada hanya api…,api yang menjalar kemana-mana…terus menjalar!
Para wanita dan anak-anak menjerit dan menangis keras, riuh rendah! Hiruk-pikuk! Mereka jatuh, berlari, bergulingan, berusaha menyelamatkan harta dan keluarganya! Dan saling kehilangan! Para lelaki mencoba menyiram rumah-rumah dengan air. Sia-sia!
Sesaat aku terpana. Ternganga. Naluri kemanusiaanku menuntunku untuk membantu menyelamatkan kaum wanita, para bocah dan orang tua. Tubuhku bergetar. Peluh membasahi kulit ini. Aku berlari-larian mencoba menyelamatkan yang bisa kuselamatkan. Anak-anak kecil itu…, Allah…aku sempoyongan! Kasihan mereka!
“Toloooong, bayikuuu! Bayiikuu! Dia terbakar!” seorang umak muda berteriak-teriak di depan rumahnya yang penuh kobaran api.
Entah kekuatan dari mana, aku menyeruak masuk. Bocah baru berusia beberapa bulan itu menangis keras kepanasan! Selimutnya telah terbakar. Kuraih…, hup! Tangis anak itu makin keras. Tapi…ya Allah…,aku terkurung apii!!
“Toloong! Tolong anak iniii!” teriakku.
Dalam nanar kulihat orang-orang masih berlarian tak peduli. Umak anak itu meraung-raung sambil menunjuk-nunjuk kami….
Aku sudah pasrah…, saat samar-samar kulihat sosok kurus tinggi menyeruak api! Tangan kanannya menarikku. Tangan kirinya menyelamatkan bayi tersebut!
Alhamdulillah Allah melindungi kami. Hanya kaki dan tanganku melepuh sedikit.
Dan lelaki itu…, hah? Kak Idis?
“Kau sudah lebih berani, Ading! Berjuanglah bersama Allah…,” katanya datar sebelum berlalu.
Aku tercenung. Berani? Ya, pada api aku memang agak berani. Tapi…pada Belanda yang memperkosa dan membunuh Umak, yang mencungkil mata Abak?
Orang-orang di sekitarku masih hiruk-pikuk. Bertangis-tangisan. Kutatap sosok kurus yang kian jauh itu. Entah siapa dia…, dan Ya Allah, mana bungkusanku? Heran. Dalam keadaan seperti ini ada saja orang yang mencari kesempatan!
Aku sudah tak memikirkan sosok kurus itu lagi. Hanya mencari bungkusanku yang hilang ke sana kemari.
***
 Martapura, 26 Februari 1864.
Kesunyian kota berubah ramai saat para utusan De Koch tiba.
“Rakyat semua, dengarlah! Besok kamu semua datang beramai-ramai. Setelah Pangeran Hidayat ditangkap untuk dibuang ke Cianjur, Gubernemen kini telah menangkap ekstrimis Demang Lehman. Eksekusi gantung sampai mati esok pagi!”
Aku baru saja tiba di kota ini. Orang-orang sibuk membicarakan tertangkapnya Demang Lehman. Kasihan, kasihan pejuang itu. Dan bagaimana nasib rakyat kalau ia betul tertangkap? Bukankah ia pengobar semangat rakyat?
“Ya, Demang Lehman dan Tumenggung Aria Pati bersembunyi di dalam Gua Gunung Pangkal. Mereka cuma makan daun-daunan. Lalu oleh orang bernama Pemberani diajak menginap di rumahnya.”
“Karena tergiur imbalan golden, Pemberani bekerja sama dengan Syarif Hamid dan anak buahnya yang sudah menyusuri Gunung Lintang dan Gunung Panjang untuk mencari Demang Lehman.”
“Demang Lehman ditangkap waktu salat subuh. Ia sempat sendirian melawan puluhan orang yang mengepungnya. Atas keberhasilan ini Syarif Hamid akan diangkat jadi raja di Batu Licin….”
Cerita-cerita terus beredar. Dan entah mengapa aku tergugah. Seperti apakah Demang Lehman itu? Lelaki pemberani yang dikagumi rakyat Banjar? Setua apa dia? Rasa ingin tahu bermain terus di hatiku.
27 Februari 1864. Kulihat wajah-wajah duka di Martapura. Dan saat iring-iringan Belanda tiba, entah mengapa kakiku tetap kukuh menginjak bumi. Tak lari seperti biasa. Serasa magnet yang kuat menahanku untuk tetap di Martapura. Tiba-tiba kebencianku bergumpal-gumpal pada Belanda kafir dan para pengkhianat tolol itu! Tiba-tiba sesuatu yang lain menjalar di hatiku. Aku merasa begitu dekat dengan Demang Lehman…,orang yang akan digantung Belanda di hadapan orang banyak saat ini….
“Bawa dia naik!” teriak beberapa Belanda.
Rakyat berguman-guman tak jelas. Wajah-wajah di sampingku keruh menahan air mata.
Seorang lelaki kurus tinggi dengan ikat kepala naik ke atas panggung hukuman. Ya Tuhan! Aku menahan napas! Nyaris tak percaya…, Kak Idis!? Benarkah itu Kak Idis?
Lelaki muda itu tampak tenang menghadapi tali yang menjulur. Wajahnya kokoh ke depan. Seolah ingin berkata bahwa kematiannya adalah awal, bukan akhir perjuangan.
“Kak Idis…,” lirihku. Dan tanpa dapat kutahan airmataku mengucur begitu saja. Makin lama semakin deras.
Seorang Kompeni maju. “Nama Demang Lehman. Nama kecil Idis. Lahir tahun 1832 di Barabai. Bersalah merugikan pemerintah Belanda secara moril materil dan menghilangkan nyawa banyak orang. Dihukum gantung dalam usia 32 tahun, sebagai contoh pahit bagi para pemberontak.”
Dangar, dangar baritaan! Banua Banjar lamun kahada lakas dipalas lawan banyu mata darah akan diinjak kumpini Belanda!”
“Apalagi yang mau dikatakan!” Belanda mendorong tubuh Kak Idis hingga limbung.
“Mari berjihad, saudaraku! Laailaahailallah!!!” Kak Idis berteriak keras.
Wajah orang-orang kian haru. Biru. Beberapa diantaranya meneteskan airmata. Para wanita seolah tak kuat menanggung rasa duka dan berlalu dari situ. Sementara deras airmataku berubah jadi isakan.
“Siap?”
Bagiku Kak Idis tampak makin gagah saat lehernya dikalungi tali tambang yang kokoh itu. Ia begitu tenang. Pun saat tanpa sengaja kami bertatapan.
Jantungku berpacu keras. Belanda Biadab!
Allaaahu Akbarrrr! Demang Lehman…! Aku akan mengikutimuuuu! Aku akan berjihaaaad!” teriakku tiba-tiba. “Aku Gaharaaaa!!!”
Sesaat orang-orang sibuk mencari arah suaraku, juga Kompeni. Demang Lehman tenang dan terus berdzikir. Seulas senyum ketabahan menghiasi wajah teduhnya. Belanda tak membiarkan. Kasar mereka menarik Demang Lehman! Kasar mereka memasukkan lingkar tali tambang ke lehernya! Dan penuh kebrutalan… mereka…membuat tubuh kurusnya terayun-ayun setelah mengejang tertarik tali!
Allah, dia telah pergi! Pemuda gagah itu pergi diiringi tunduk khidmat dan doa rakyat Banjar. Diantara derai tawa Kompeni Belanda!
Selendang compang-campingku yang lusuh berdebu, berkibar ditiup angin Martapura. Rahangku keras menatap langit kelabu. Sayup-sayup kudengar senandung Laa ilaahailallah memenuhi bumi. Menyebarkan wangi….
Aku akan mengenangmu, Demang Lehman mujahid negeri! Akan kuteruskan perjuangan! Dan airmata biar terpatri jadi janji!
(Helvy Tiana Rosa, Depok, 1996)

Keterangan:
ikam                                           : kamu
ading                                          : adik
kada                                           : tidak
acil                                             : tante
lalawangan                                : kepala distik, pamong praja
dangar baritaan                         : dengar pesanku
lamun kada lakas dipalas         : kalau tidak lekas disiram
banyu                                         : air

Sekelumit Cerita



walking around
          Debu jalanan masih berhembus tebal. Aku masih memakai masker. Tepat di bawah pohon mahoni di tepi trotoar. Kupakirkan sepeda sejajar dengan pohon. Kejadian baru saja membuat jantungku hampir copot. Bagian dasbor belakang sepedaku ditabrak oleh mobil avanza hitam. Untungnya aku masih bisa menjaga keseimbangan. Segera kuarahkan kepinggir dan mobil itu melaju tanpa rasa bersalah. Padahal orang-orang di pinggir trotoar sudah terkesiap melihatku yang hampir terjungkal. Aku hanya bisa mengeluh di bawah pohon mahoni. Ntah aku yang salah karena mengendarai sepeda yang terlalu lamban dan agak menengah. Atau karena memang mobilnya yang tidak sabaran. Kurasa akulah tadi yang salah, karena melamun. Ya, aku sedang melamunkan tentang masa depanku ditengah lalu lalang kendaraan. Tentang kuliah, menginjakkan kaki di kampus idaman dan menjadi mahasiswa.

Minggu, 03 Mei 2015

Mozart the lazy boy



Once upon, in the middle city there was little boy and his mother. His name was Mozart. He had a medium house. Mozart was lazy, naughty and disobey boy. He never helped his mother in the kitchen. He just slept, played and ate in his room without cleaned his home. His mother often forbad to make confusion but mozart didn’t care about that. In the morning mother knocked Mozart’s room. Mother said “Mozaaart, have you woke up”. There is no respon. Mother got in to mozart room and she found her child still slept. Mother said be louder sound “Mozaaaaaaart, get up clean and tidy your room, now!”. Mozart suprised, directly he got up and jumped from his bed. He answered“Aisshh, i still sleepy mam”. And mozart continued to sleep again.  Mother became angry “i will go to market, if you havent cleaned your room there is no lunch and dinner for you”. Mozart didn’t care about his mother’s theart. When his mother was going to the market mozart just watched TV, ate snack and threw the rubish everywhere. He made his home more dirty. There’s many dirty clothes,socks,expired food, and things that has a bad smell in his room. When Mozart watched TV he heard someone called his name and knoked the door. He ignored that sound. But time by time, Mozart was afraid, because that wasn’t his mother’s sound. So that, he ran to his room and locked it. But the sound still followed him.  He closed his ears but still heard. Suddenly, show up a creature who hororable stood in front of Mozart. Mozart was scary and shoked “who are you?!”asked Mozart. That a creature answerd “hello the lazy kid, I am a devil, I wanna kill and eat you”. “Why will you do that? Asked Mozart again. His body had felt frightened and clumsy. “Because, you invited me to come in your room. You have a comfort home to me. I like a dirty room, and there are many mice and chocroachs. This is will become my palace hahaha”. The devil laughed.  Mozart became scary, he cried out and called his mother. But the devil more disturbed him. The devil always follow him everywhere. Mozart look for an idea to chase away from his home. He throw all tools to the devil but the devil just laugh be louder. And then, the devil said “if you wanna chase me, you must clean you room. Mozart relized and directly cleaned all his room. And then the devil went a way from mozart room. At the time, mozart never made a dirty his room. He always kept a clean. Mother just smile when she saw her child became a diligent boy, actually the devil is mozart’s mother.